Dilema PSBB, Lakukan PKM

By Abdi Satria


Oleh : M. Ridha Rasyid

Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan

Data terakhir pandemi Covid19 di Sulawesi Selatan (26/4/2020, 13. 57 Wita) 432 orang positif, 82 orang sembuh dan 36 orang meninggal . Dari data ini terjadi penambahan penderita pneumonia akibat covid19 setelah pemberlakukan pembatasan sosial berskala besar berjalan dua hari (data tanggal 24/4, 420, 81, 35 ) ada peningkatan 12 orang positif, 1 sembuh dan 1 meninggal. Jika di persentasikan yang positif meningkat 2,7% 

Untuk menilai dan mengukur efektifitas pemberlakukan pembatasan sosial berskala besar tentu belum bisa. Namun paling tidak dari sejumlah propinsi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah yang merupakan wilayah episentrum yang "menyumbangkan" angka yang cukup signifikan secara nasional.

Sementara Sulawesi Selatan "pemasok" terbesar di luar pulau Jawa, di mana Makassar menjadi wilayah terbesar mendistribusikan penderita positif, meninggal dan sembuh. Artinya, mulai dari sekarang, memasuki minggu pertama dari pemberlakukan untuk di evaluasi program yang mengiringi kebijakan ini.

Secara pribadi, saya melakukan perjalanan dari Sungguminasa menuju Makassar hampir tiap hari kerja sebelum Work From Home, nyaris tidak ada perubahan dan pengaruh pandemi covid19.

Aktifitas warga, juga transportasi tetap ramai bahkan terjadi kemacetan di beberapa titik (seperti hari biasa lainnya sebelum ada mahluk halus nan ganas ini beraksi) , terakhir kemarin hari sabtu 25/4 , masih sempat jalan melihat situasi di beberapa sudut kota, khususnya di wilayah Panakkukang, Rappocini, Cenderawasih, perintis kemerdekaan, Tello Baru hingga Antang, nyaris tidak berubah.

Yang sedikit sepi itu di malam hari khususnya sekitar Karebosi. Lainnya, "normal". Mengapa ini terjadi dalam tiga hari penerapan PSBB? Pertama, pembentukan tim gugus tugas tanggap bencana nasional non alam pandemi covid19 "asal comot" saja pejabat yang kurang komponen, kedua, kelengkapan sarana, prasarana dan utilitas untuk mendukung pelaksanaan tugas tim terbatas.Oleh karena tidak menjadi fokus sebelum tim ini dioperasionalkan.

Ketiga, kurangnya koordinasi antara satuan kerja dan tim, akhirnya yang diartikan dan dijelaskan oleh tim tidak sejalan dengan kegiatan skpd, hingga ke rt dan rw terhadap tindak lanjut perwali ( lebih celaka lagi ada anggota tim yang menafsirkan sendiri perwali 21 Tahun 2020, karena yang bersangkutan malah tidak pernah baca isinya).

Keempat, pengawasan pendistribusian serta pengadaan kebutuhan pokok masyarakat "amburadul" dan terjadi penyimpangan data dan harga. Kecurigaan ini sudah muncul dan perlu ada investigasi.

Ke lima, lemahnya tindakan yang harus seharusnya dilakukan oleh pimpinan. Pimpinan sibuk dengan urusan seremonial, sementara bawahan di lapangan melakukan kegiatannya sesuai "caranya" sendiri. 

Jikalau, mudah mudahan tidak terbukti, hingga berakhir masa pembatasan sosial berskala besar ini terjadi pengendalian jumlah penderita positif ( kita tidak membahas jumlah sembuh dan meninggal, sebab hal itu sudah dilakukan tindakan sesak protokol kesehatan), maka dapat dinilai bahwa psbb ini berhasil. Namun jika terus bertambah, maka PSBB itu gagal. Dan yang harus bertanggung jawab terhadap kegagalan itu adalah tin dan unsur pemerintah daerah lainnya. 


Jangan Memperpanjang PSBB 

Kemarin sore, saya mampir di sebuah toko bangunan, pemilik toko itu kebetulan sahabat saya. Bercerita bahwa ekonomi saat ini lumpuh, distribusi barang berjalan baik, tapi kurang pembeli, sejumlah proyek fisik tertunda, bahkan ada yang di batalkan setelah ada realokasi anggaran.

Mau turunkan harga sesuai hukum ekonomi, tapi belinya masih harga normal. Ujungnya merugi. Disimpan barangnya, bisa saja rusak. Terlebih setelah diberlakukan pembatasan sosial berskala besar. Terpaksa sebagian besar toko tutup, meliburkan karyawan. Ekonomi nyaris lumpuh. Jalan tertatih tatih. Dilematis.

Ada yang mengatakan jangan berpikir ekonomi di situasi sekarang. Utamakan keselamatan masyarakat. Toh roda ekonomi bisa tertunda. Bagi sebagian besar masyarakat, statemen ini mungkin benar dan perlu, tetapi bagi kalangan pengusaha ini adalah "kiamat", kecil dan besarnya tergantung fondasi perusahaan yang digelutinya kuat apa tidak menahan beban goncangan. 

Dalam berbagai aspek, pembatasan sosial berskala besar ataupun lockdown bukan cara efektif menyelesaikan mata rantai persoalan. Mungkin pandemi covid19 nya bisa menurun atau bahkan dituntaskan, namun pada saat yang sama, ada "penderitaan" lain yang dialami masyarakat yang juga berujung kepada kelaparan dan kematian.

Ketika ekonomi tidak bergerak, pasokan barang melimpah, konsumsi masyarakat menurun, yang ada banting harga atau bahkan barang itu nyaris tak ternilai. Seperti minyak bumi sekarang. Tidak ada harganya, bahkan minus. Ini data terakhir tanggal 25/4 harga minyak bumi minus 21 dollar perhari.

Artinya, produsen minyak-lah yang mau membayar kepada para pembeli. Tidak jadi beli tapi dapat gratis. Kenapa itu terjadi. Di mana mau disimpan minyak yang melimpah itu? (Yang agak aneh di negeri ini, harga bbm tidak berubah)

Oleh karena itu, dimohon kepada pemerintah daerah yang sudah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar , sekalipun gagal, tidak usah diperpanjang. Kepada daerah yang akan memohon persetujuan pusat untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar , agar dipertimbangkan kembali.

Bukti nyata bahwa sejumlah daerah yang sudah melakukan hal ini, data nasional tidak menurun. Meningkat terus. Walaupun, boleh jadi penyumbang terbesar bukan lagi berasal dari wilayah yang sudah melakukan PSBB tapi daerah lainnya yang belum melakukan itu. Tapi ini, perlu ada pertimbangan matang dan menyeluruh oleh seluruh unsur yang ada di daerah .

Pembatasan Kegiatan Masyarakat ala Kota Semarang

Kota Semarang tidak memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar, pemerintah daerah sangat memperhatikan berbagai masukan, kemudian mempertimbangkan hal yang paling minim resikonya.

Daerah tidak perlu persetujuan pemerintah pusat, tidak perlu pusing bantuan sosial yang tidak merata atau kemungkinan diselewengkan petugas, tidak perlu masyarakat merasa terkarangkeng atau seakan "dikebiri". Sebuah alternatif kebijakan yang positif tanpa harus menghentikan roda pergerakan ekonomi dan kegiatan masyarakat. 

Melalui Perwali No 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) dalam rangka Mempercepat penanganan Corona virus disease (covid19) di Kota Semarang 

Isinya antara lain 

"Selama berlakunya PKM, boleh berkegiatan tapi harus sesuai dengan sejumlah standar operasional prosedur (SOP) yang di kontrol,” Dalam kegiatan tersebut, melibatkan masyarakat dengan dikawal tim patroli, pemkot dan instansi terkait

Pertama, adanya penghentian kegiatan di sekolah maupun institusi pendidikan lainnya. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran sedianya akan dilakukan dari rumah masing-masing dengan menggunakan media yang dinilai paling efektif.

Kedua, masyarakat diminta untuk membatasi kegiatan di tempat kerja, tempat ibadah dan tempat umum.

Adapun peraturan mengenai kegiatan di tempat kerja, yakni setiap institusi atau perusahaan diminta untuk mengatur jam kerja pelayanan dan jumlah pekerja yang masuk.

Sementara itu, terkait pembatasan kegiatan keagamaan, Pemkot Semarang meminta masyarakat untuk mengikuti himbauan atau fatwa lembaga atau tokoh agama masing-masing.

Ketiga, masyarakat dihimbau untuk melakukan pembatasan kegiatan sosial dan budaya serta menutup sementara semua tempat hiburan dan tempat wisata.

Keempat, bagi PKL dan sektor informal yang menggunakan fasilitas umum berupa ruang terbuka publik masih diberi keleluasan untuk berkegiatan.

Kegiatan PKL tersebut dibatasi jam operasionalnya, dimulai dari pukul 14.00 Waktu Indonesia Barat (WIB) sampai pukul 20.00 WIB.

Kelima, tempat usaha seperti pasar tradisional, toko modern serta restoran atau kafe diperbolehkan buka sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Lebih rinci mengenai waktu operasional tersebut yakni toko modern dari jam 07.00 sampai dengan pukul 21.00 WIB.

Adapun restoran diperbolehkan buka dari jam 11.00 sampai dengan pukul 20.00 WIB, sementara di atas pukul 20.00 WIB hanya diperbolehkan melayani pesan antar atau take away. Tidak hanya itu, secara khusus pasar tradisional, toko modern serta restoran atau kafe juga diwajibkan melakukan disinfeksi secara berkala.

Keenam, terkait moda transportasi umum selama pemberlakuan PKM, angkutan yang diperbolehkan beroperasi akan dibatasi dengan memperhatikan beberapa ketentuan.

Dalam hal ini, transportasi yang masih beroperasi hanya angkutan untuk pemenuhan kebutuhan pokok, kargo dan distribusi, serta layanan angkutan lain yang bersifat darurat.

Untuk transportasi umum kapasitas angkutnya dibatasi paling banyak 50 persen dari kapasitas angkutan. 

Sementara itu, terkait jam operasional, dimulai dari pukul 04.00 WIB -18.00 WIB, kecuali taksi dan ojek. Kendaraan umum wajib menerapkan protokol kesehatan terhadap petugas dan penumpang.

Pemerintah akan memberikan sanksi mulai teguran lisan maupun tertulis, sampai pembubaran kegiatan atau penutupan tempat usaha.menerapkan protokol kesehatan seperti kewajiban mengenakan masker apabila keluar rumah.

Ini mungkin bisa menjadi alternatif kebijakan bagi daerah lainnya, termasuk kota Makassar pasca psbb, dengan menyesuaikan karakteristik masyarakat setempat. 

Wallahu 'alam bisshawab

Makassar, 26 April 2020 Miladiah/3 Ramadhan 1441 Hijriyah